Semburat awan berwarna lembayung melukiskan petang yang
mempesona, pantulan cahaya merah jingga terlihat berkilau keemasan. Permukaan air
seperti menjilat lidah api yang membara dengan riak halus air muara. Sesekali
perahu nelayan melintas membuat siluet dengan garis yang memisahkan barat dan
timur. Aku menyebutnya dermaga Api. Sungguh sangat indah, Kian terasa sempurna
andai engkau disisiku saat ini.
Aku diam, serupa cahaya di ujung senja yang mengantarkan
penguasa siang kembali ke peraduan, wajahmu remang kupandang, sesekali
menghilang ketika matahari terhalang segerombol mamalia yang dapat terbang
dengan mengembangkan kedua kaki depan menjadi sayap. Senja membawa lamunanku pada
rasa sesak yang masih mekar menjalar didada, tatkala menilisik sebuah nama yang
begitu aku puja. Senja yang mengantarkan aku pada impian yang tak pernah layu,
sekalipun kelopak-kelopak penuh harapan itu telah engkau hancurkan tadi malam,
menyisakan tetesan-tetesan pati yang mengental menjadi rasa yang tak
terelakkan.
Senja semakin menjauh, dan aku masih diam terpaku ditempatku
mengasah sajak, mencoba menggali tentang sebidang hatiku yang rapuh, hati
yang mengepak diantara sayap yang retak. Dan sekian Kilo Meter dari tempat
kuberdiri ini Engkau tahu aku sedang berada diperahu. Melaut entah kemana
hendak berlabuh, selalu mencoba pergi tapi tak tahu apa yang dicari. Pengembara
tanpa tujuan.
Dermaga Api, kutitipkan sebuah pesan padanya, mintalah ia
mengambil satu diantara seribu nyanyian, mudah-mudahan ia bisa memeliharanya, seseorang yang ia impikan dapat mengantikan sesosok bayang samar tanpa wujud
kepastian seperti diriku. Dan diantara berlalunya senja, doakan kepergianku.
Tanjung Api-Api 26 Ramadhan 1435 H
0 komentar:
Posting Komentar